Bisa dibilang Microsoft melakukan langkah salah yang fatal dengan mengharuskan penggunanya menggunakan akun online buat menggunakan Windows 11. Komputer itu berbeda dengan smartphone yang kalo digunakan secara maksimal harus terkoneksi internet. Bahkan Android bisa berkerja dengan baik tanpa harus mendaftarkan akun ke Google.

Seperti yang gua bilang sebelumnya, selama gua nggak pake hardware yang baru, gua nggak perlu menggunakan Windows 11. Windows 10 masih akan bertahan satu dekade ke depan.

Setelah dipikir-pikir, selama industri nggak mulai mengadopsi alternatif lain seperti Linux bahkan macOS, Windows ini akan bikin masalah nantinya. Kebanyakan hardware yang baru akan memberikan driver yang kompatibel biasanya untuk Windows. Linux nggak dilirik.

Untungnya, ada Android yang bisa ngasih angin segar. Produsen hardware senggaknya mulai membuat barang-barangnya bisa digunakan di perangkat ini.

Kalo sesuai zona waktu Amerika, hari ini dukungan untuk Windows 10 sah berakhir. Sebenarnya hampir lebih 1 dekade, gua jarang buka Windows. Tetapi setelah buka studio foto, gua kembali pake sistem operasi ini.

Beberapa perangkat lunak memang berjalan lebih baik di Windows dari pada di Linux. Salah satunya adalah perangkat lunak penyunting foto. Biarpun ada beberapa alternatif yang open source tapi sulit mengubah kebiasaan. Beberapa workflow yang berbeda bikin gua harus selalu mencari di Google.

Masalah yang krusial lainnya kenapa gua tetap masih menggunakan Windows yaitu printer! Kalo cuman mau mencetak hitam putih, di Linux hasilnya udah cukup bagus. Lain ceritanya kalo mau mencetak foto berwarna. Nggak adanya opsi untuk mengatur untuk kebutuhan ini membuat hasilnya nggak sesuai. Tintanya entah kenapa selalu luntur.

Apakah dengan berakhirnya dukungan Windows 10 ini membuat gua akan pindah Windows 11? Jawabannya, nggak! Spesifikasi komputer gua nggak mendukung Windows 11. Microsoft malah menyarankan gua untuk membeli perangkat yang baru. Tentu ini bukan solusi untuk usaha yang keuntungannya masih recehan.

Windows 10 ini masih akan gua pake mungkin sampe 10 tahun ke depan selagi masih berfungsi dengan baik. Selama perangkat kerasnya bukan barang-barang terbaru, gua nggak perlu perangkat lunak yang baru.

Selain jadi programmer, keseharian gua habiskan menjadi fotografer. Gua punya studio foto kecil-kecilan untuk mengisi waktu agar terkesan produktif.

Tempat penyimpanan jadi permasalahan untuk bisnis yang berhubungan dengan foto. Ukuran 1 foto bisa mencapai 5-6 MB bisa membuat storage perlahan-lahan penuh. Gak jarang 1 sesi foto aja bisa memakan storage dari 500 MB sampe 1 GB lebih.

XnView MP adalah perangkat lunak yang gua pakai buat mengelola berkas-berkas foto. Biarpun closed source tapi gua suka pakai software ini karena cocok dengan experience gua. Generate thumbnail serasa sangat cepat dibandingkan dengan menggunakan file manager bawaan sistem operasi. Selain itu, gua pakai untuk resize foto.

XnView MP emang tool yang lumayan powerful tapi sebagai pengguna Linux tingkat advanced, gak lucu kalo gak pake terminal buat ngerjain sesuatu yang berulang. Dengan bantuan imagemagick, proses resizing menjadi lebih mudah. Berikut baris perintahnya:

for i in *.JPG; do magick $i -resize 50% -quality 76 NewFolder/$i; done

Dari baris perintah tersebut, bisa disimpulkan ukuran fotonya gua kecilin setengahnya dengan kualitas 76%. Angka-angka ini gua pergunakan dari hasil baca-baca blog orang yang sering berkutat di bidang pengelolaan citra. Hasil resize ini bisa menghasilkan ukuran berkas foto menjadi 300-400KB. Cukup untuk menghemat storage tanpa harus membuang foto-foto lama.

Berikut script lengkapnya:

#!/usr/bin/env bash

if [ -z "$1" ]; then
	echo "Error: No directory specified."
	echo "Usage: $0 <directory>"
	exit 1
fi

cd "$1"

if [ ! -d "$1/resized" ]; then
	mkdir -p "$1/resized"
fi

for i in *.JPG *.jpg; do
	echo "Resizing $i..."
	magick "$i" -resize 50% -quality 76 "$1/resized/$i";
done

Hari ini gua belajar kalo direktori .cache yang ada di home bisa di-mounting ke tmpfs. Berikut baris yang gua tambahin ke berkas /etc/fstab.

tmpfs /home/ronsen/.cache tmpfs size=2G,uid=1000,gid=1000,rw,nosuid,noexec,nodev 0 0

Biarpun gua tau cache bisa membuat cepat sebuah program berjalan tapi di sini gua gak butuh berkas-berkas sampah yang entah dari kapan makin lama makin menumpuk.

Sejak Laravel mengenalkan Octane buat ngedorong aplikasi menjadi lebih cepat, gua mutusin buat nyobain pake pustaka ini. Emang benar, dengan bantuan FrankenPHP, aplikasi yang gua bikin makin ngebut. Nggak ada lagi yang bilang PHP sebagai bahasa yang lambat.

Semua berjalan lancar sampai akhirnya beberapa kali Octane nggak bisa restart. Udah coba beberapa kali nyobain matiin service tapi nggak bisa juga. Suata saat pengen dihidupin tapi port katanya sedang dipakai, sedangkan tampilan depan nunjukin error 503. Restart server pun kadang nggak berhasil karena menunggu service-nya mati.

Sebenarnya error ini jarang terjadi kecuali gua abis refactoring yang cukup banyak. Kalo dikit-dikit aja, proses restart aman. Gua masih pengen pake Octane ini tapi karena gak mau terlalu ambil pusing, akhirnya gua mutusin kembali pake php-fpm aja. Apalagi aplikasi yang gua bikin pengunjungnya gak terlalu banyak lagi.

Saat ini optimasi kode sumber menjadi andalan biar aplikasi tetap ngebut.

Ganti wallpaper di Linux lewat command line itu benar-benar bikin pusing. Udah dibantu pake ChatGPT dan AI lainnya, tetap gak segampang itu. Tetap harus dilakukan secara manual.

Jadi ceritanya, gua pengen wallpaper di PC desktop gua ganti dalam kurun waktu tertentu. Untuk urusan waktu, biasanya gua cukup pake cron. Kebetulan script yang gua bikin itu pake Python karena butuh buat mengunduh wallpaper. Setelah terunduh, script itu secara otomatis akan menggunakan wallpaper tersebut.

Gua akhirnya menyerah.

Eh, pas gua coba ganti wallpaper otomatis saat login selalu berhasil.

Gua balik lagi pake Blogger sebagai platform buat nulis blog. Tadinya gua pake Vercel karena nyediain layanan gratisan buat bikin website. Setelah mencoba beberapa lama, akhirnya gua memutuskan untuk ninggalin Vercel.

Menggunakan Vercel itu sebenarnya asyik-asyik aja. Gua pake ini karena emang awalnya gua pengen belajar SvelteKit buat bikin website. Vercel menjadi tempat yang mudah buat deploy aplikasi yang udah lu kembangkan dengan framework ini.

SvelteKit itu semacam meta framework yang artinya mendukung pengembangan server side. Biarpun Vercel menyediakan database buat dijadiin back-end, sayangnya nggak gratis. Buat ngakalin ini, gua bikin API langsung dari home lab. Semuanya pun berjalan lancar sampai PLN jadi kendala utama lu.

Listrik yang sering padam menjadi alasan utama gua memutuskan kembali menggunakan Blogger. Biarpun banyak kekurangannya, apalagi gua yang suka mengetik entri postingan dengan menggunakan Markdown. Untungnya, gua bikin Guritan buat ngatasin masalah ini. Bukan editor yang canggih sih tapi sementara ini udah cukup buat gua.

Kalo dipikir-pikir, Blogger bisa aja sih dijadiin back-end dan Vercel/Github pages/Cloudflare pages/dll sebagai front-end.